Yasmin Saya adalah peneliti muda yang antusias dalam bidang penelitian dan analisis data di sektor publik serta pembangunan ekonomi, terutama dalam konteks evaluasi dampak kebijakan.

Krisis Perbankan di Eropa dan Amerika, Emang Ada Apa Sih?

4 min read

Krisis Perbankan di Eropa dan Amerika, Emang Ada Apa Sih

Kebijakan The Fed yang terus-menerus menaikkan suku bunga acuan mereka dalam beberapa bulan terakhir, menyebabkan shock pada financial market. Kebijakan tersebut diambil oleh The Fed dalam rangka untuk mengejar target inflasi mereka, yaitu 2 persen. Meskipun kebijakan tersebut secara perlahan mampu menurunkan inflasi di US, akan tetapi hal tersebut juga menyebabkan beberapa lembaga keuangan di US dan Eropa mengalami Krisis likuiditas dan bahkan telah dilaporkan bangkrut.

Silicon Valley Bank (SVB) merupakan salah satu lembaga keuangan yang jatuh pada bulan maret 2023. SVB merupakan bank terbesar ke-16 di US dan sebagian besar nasabah-nya startup yang bergerak di industri teknologi. SVB memiilki jumlah simpanan dan asset yang signifikan, yang sebagian besar digunakan untuk membeli bond pemerintah dan bond jangka panjang lainnya. Namun, ketika The Fed menaikkan suku bunga, bond yang dipegang oleh SVB menjadi investasi yang beresiko, karena investor dapat membeli bond dengan suku bunga yang lebih tinggi, sehingga nilai bond yang dipegang oleh SVB jadi menurun.

Di saat yang bersamaan, imbas kenaikan suku bunga The Fed juga membuat para investor mulai berpaling untuk berinvestasi di startup. Akibatnya, banyak startup yang menarik dananya di SVB untuk memenuhi likuiditas mereka. Hal tersebut menempatkan SVB Krisis likuiditas, dan untuk mengatasi masalah tersebut meraka menjual bond yang mereka pegang, tetapi penjualan tersebut mengalami kerugian. Hal tersebutlah yang menandai awal jatuhnya SVB, dan akhirnya pada tanggal 17 maret 2023 SVB Financial Grup menyatakan pailit.

Runtuhnya Silicon Valley Bank (SVB) menghasilkan contagion effect yang menyebabkan beberapa bank di US juga menyatakan bangkrut. Kegagalan SVB menyebabkan banyak nasabah menarik uang mereka secara bersamaan (bank run) di Signature Bank. Para nasabah panik setelah SVB gagal karena Signature Bank memiliki simpanan yang tidak diasuransikan dalam jumlah besar dan banyak di investasikan ke sektor kripto.

Keadaan serupa juga dialami oleh First Republic Bank, dimana keruntuhannya juga dipicu oleh sejumlah besar deposito yang tidak diasuransikan, yang menyebabkan kekhawatiran tentang pendanaan dan likuiditas bank. Nasabah bank khawatir akan keamanan deposito mereka dan mulai menarik uang mereka.

Sebelum 3 bank diatas, Silvergate Bank merupakan bank pertama yang telah dinyatakan bangkrut sejak 8 maret 2023. Bank ini juga kurang lebih mengalami hal yang sama, namun bedanya bank run terjadi karena nasabahnya panik akibat runtuhnya FTX dan Alameda Research, yang merupakan asset kripto terbesar di dunia. Pada saat FTX runtuh, sekitar 90 persen dari basis simpanan silvergate berasal dari perusahaan kripto. Bank langsung kehilangan US$ 8.1 miliar akibat arus keluar pada kuartal IV 2022, dan akhirnya dinyatakan bangkrut pada maret 2023.

Setidaknya terdapat 3 alasan utama mengapa bank-bank ini runtuh:

Calolina Grabowska, Pexels.

Pertama, mereka hanya fokus pada satu sektor yang cenderung high risk, seperti pada sektor crypto maupun teknologi. Sehingga ketika sektor ini mengalami goncangan (shock), bank-bank ini akhirnya mengalami krisis likuiditas.

Kedua, jumlah simpanan yang tidak diasuransikan sangat besar, sehingga ketika ada goncangan di financial market, akan menyebabkan bank run karena para nasabahnya mencoba menghindari kerugian dengan menarik uang mereka.

Ketiga, resiko likuiditas mereka yang tinggi (Asset Liability Mismatch), karena bank-bank ini hanya menyimpan uang tunai dalam presentase yang kecil dan sebagian besar digunakan untuk membeli obligasi dengan tenor jangka panjang.

Contagion effect ini tidak hanya berhenti di US, namun juga mulai melanda bank-bank besar yang ada di Eropa. Bank pertama yang merasakan dampaknya adalah Credit Suisse di Swiss. Credit Suisse menghadapi krisis likuiditas akibat jatuhnya harga saham dan oblogasi mereka, yang salah satunya disebabkan oleh kepanikan para investor dan nasabahnya akan krisis perbankan di US.

Selain itu, jatuhnya bank ini juga disebabkan oleh serangkaian skandal, pergantian manajemen, dan kerugian yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Bank ini telah terlibat dalam berbagai skandal yang membuat para investor khawatir, termasuk salah urus dana, yang terungkap dalam laporan keuangan tahun 2022.

Selain Credit Suisse, Deutsche Bank juga mengalami penurunan saham yang signifikan, yaitu sekitar 24 persen dalam satu bulan terakhir, yang menyebabkan kekhawatiran akan potensi jatuhnya bank ini. Saham bank ini jatuh pada 24 Maret 2023, karena pasar berfokus pada Deutsche Bank sebagai bank besar berikutnya yang berisiko setelah runtuhnya Credit Suisse dan peristiwa serupa di AS.

Deutsche Bank telah mengumumkan rencana untuk membeli kembali utangnya, yang merupakan langkah yang diambil perusahaan untuk mengurangi beban utang dan memperbaiki posisi keuangan mereka serta untuk menjaga kepercayaan nasabah dan investor mereka. Biaya untuk mengasuransikan obligasi Deutsche Bank dari risiko gagal bayar juga meningkat tajam. Sampai saat ini, Deutsche Bank belum runtuh, tetapi stabilitasnya tetap menjadi perhatian para investor dan nasabahnya.

Beberapa ekonom berpendapat bahwa contagion effect ini akan terus berlanjut apabila bank sentral dan institusi keuangan tidak dapat mengendalikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. Beberapa perbankan di Inggris dan prancis seperti Barclays, Society generale, BNP Paribas, dan lain-lain juga dikhawatirkan akan terdampak dengan adanya krisis yang melanda beberapa perbankan di US dan Eropa, karena bank-bank ini banyak berinvestasi pada asset derivatif. Sebagai contoh, BNP Paribas yang nilai sahamnya turun hingga 5 persen setalah credit Suisse diakuisisi oleh UBS. Apalagi beberapa perbankan tersebut menjadi pemain penting dalam industri perbankan global.

Berdasarkan beberapa kasus perbankan diatas, secara umum dapat diketahui bahwa mekanisme transmisi runtuhnya bank-bank tersebut dimulai dari kenaikan suku bunga The Fed secara continue yang menyebabkan obligasi yang di pegang oleh beberapa bank di US nilainya turun serta keinginan para investor untuk berinvestasi juga ikut menurun.

Iklim investasi yang munurun akan sangat dirasakan oleh perbankan yang hanya fokus pada satu sektor. Nasabah beberapa bank ini harus menarik uang untuk memenuhi likuiditas mereka. Di satu sisi bank yang mulai krisis likuiditas juga mulai menjual obligasi mereka untuk memenuhi mengakomodir likuiditas mereka. Karena harga obligasi yang dimiliki turun bank-bank ini kemudian rugi dan menyebabkan nasabah mereka panik dan menarik dana secara besar-besaran (Bank Run).

Kepanikan ini kemudian menyebar pada nasabah-nasabah yang menyimpan uangnya pada perbankan yang high risk, dan terjadilah bank run pada bank-bank yang telah dijelaskan diatas. Selain kenaikan suku bunga The Fed, berbagai skandal yang melanda berbagai bank tersebut juga merupakan faktor pendorong jatuhnya bank-bank tersebut.

Beberapa pelajaran dari kasus krisis perbankan yang terjadi di US dan Eropa.

Reputation Risk

Pertama, Reputation risk, dimana berita terkait perjualan saham perusahaan dan berita terkait kerugian penjualan obligasi sangat berpengaruh pada kepercayaan masyarakat, karenanya pihak bank harus berhati-hati dalam mengelola pemberitaan mereka.

Liquidity Risk

Kedua, Liquidity risk, dimana bank-bank ini tidak memiliki likuiditas yang memadai dalam jangka pendek, karenanya pihak bank harus mampu mengelola maturity asetnya dengan baik agar tidak terjadi mismatch.

Market Risk

Ketiga, Market risk, dimana dampak kenaikan suku bunga The Fed sangat berpengaruh pada obligasi yang dipegang pihak perbankan, karenanya perbankan harus berhati-hati kembali dalam mengelola asset mereka.

Concentration Risk

Keempat, Concentration risk, dimana kebanyakan bank-bank yang telah jatuh, nasabah-nya hanya terkosentrasi pada satu sektor, karenanya penting bagi perbankan untuk tidak mengumpulkan portofolio pada satu kerangjang saja. Terakhir, tidak tersedianya fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP), serta kelonggaran terhadap liquidity coverage ratio (LCR) dan net stable funding ratio (NSFR)

Referensi:

https://www.investopedia.com/silvergate-stock-crashes-after-closing-crypto-bank-7252963

https://www.investopedia.com/what-happened-to-silicon-valley-bank-7368676

https://www.investopedia.com/what-happened-to-signature-bank-7370710

https://www.investopedia.com/shares-of-first-republic-bank-rebound-on-bailout-discussions-7369385

https://www.investopedia.com/what-happened-at-credit-suisse-and-why-did-it-collapse-7369825

https://www.investopedia.com/deutsche-bank-shares-crater-as-banking-concerns-resurface-7370944

https://finansial.bisnis.com/read/20230328/90/1641273/bos-bri-bbri-ungkap-lima-poin-penting-dari-bangkrutnya-silicon-valley-bank

Yasmin Saya adalah peneliti muda yang antusias dalam bidang penelitian dan analisis data di sektor publik serta pembangunan ekonomi, terutama dalam konteks evaluasi dampak kebijakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *